Mengampuni. Melepaskan. Mudah diucapkan, sulit dilakukan. Ini sesuatu yang saya pelajari selama satu dekade lebih hidup bersama depresi. Sesuatu yang perlu saya lakukan setiap hari, kadang-kadang berulang-ulang untuk hal yang sama.
Kenapa bukan mengampuni dan melupakan? Forgive and forget, gitu? Nah, saya tipe orang yang susah lupa. Kalau saya mengingat sesuatu, saya akan ingat sampai detil terkecil. Terlalu ingat, dan ingatan itu sering saya ulang-ulang sendiri di kepala saya, jebakan maut yang berbahaya dan memperbesar risiko relaps. Dulu banget saya sering berusaha melupakan. Saya kadang bilang kepada diri sendiri, saya pokoknya mau lupa semua yang ngga enak. Sialnya, buat saya itu seperti menghapus paksa memori pada periode ngga enak yang saya mau lupa itu. Saya jadi lupa terlalu banyak hal, termasuk hal-hal yang seharusnya saya ingat.
Dua hari sebelum tulisan ini mulai saya tulis (1 Desember 2020), saya ikut webinar di Fammi.ly. Bahasan yang paling saya ingat adalah bahasa cinta, bahwa setiap orang punya bahasa cinta sendiri. Ada yang bahasa cintanya adalah verbal, quality time, hadiah, acts of service, dan sentuhan. Tidak ada yang salah kalau punya hanya satu atau beberapa dari bahasa cinta ini untuk memahami bahwa orang lain menyayangi kita. Menurut saya, bahasa cinta utama saya adalah kata-kata. Itu pulalah yang saya gunakan sebagai senjata untuk terus-terusan menyakiti diri saya dengan mengingatkan diri pada hal-hal yang tidak enak tadi. Melupakan bukan suatu hal yang otomatis buat saya. Letting go mungkin lebih tepat.
Jadi, sekarang, setiap kali saya ingat hal-hal menyakitkan, hal-hal menyedihkan, pokoknya hal-hal yang tidak membuat senang, saya akan bicara pada diri saya sendiri: “It’s okay that you remember it all, but now forgive it, forgive them, and try to let it go. It happened already, nothing you can do to change the past but you can let go and accept the future, a future full of hope.”
Amen.