The Beginning

Key. Post pertama saya tentang depresi. Ever. Saya pertama kali didiagnosa depresi tahun 2011 oleh seorang GP (general practitioner atau dokter umum) di suatu kota kecil di Inggris. Saya sedang menjalani post graduate study saya di sana. Being me, yes that I-will-reach-the-sky-higher-than-you-ever-dream-of me, memilih “rocket science” major di salah satu uni paling kompetitif di sana. And yeah I flunk massively. I failed some courses. Saya terancam tidak bisa melanjutkan studi dan tidak diperbolehkan melanjutkan ke tahap penulisan dissertation kalau saya tidak berhasil lulus minimal beberapa courses pada ujian ulangan (orang Inggris menyebutnya resit).

Ketika itu saya mati-matian mempersiapkan diri untuk resit. Pagi, siang, malam, saya belajar dan belajar. Membaca text book, mengerjakan soal, mendatangi dosen untuk konsultasi, menggedor pintu asrama teman sekelas saya untuk diskusi. Jam tidur saya pangkas habis-habisan. Sebelum post graduate study itu, jam tidur saya 8 jam minimal. Tidak pernah kurang. Yes I loveeee to sleep. Awal studi, jam tidur sudah saya pangkas jadi 5 jam maksimal. Saat persiapan resit, saya pangkas lagi jadi maksimal 3 jam. Only death could stop me from graduating. Itu yang saya katakan pada diri saya. Turned out, depression stopped me from even trying to graduate.

Saya mulai skip makan siang, lalu makan malam. Selera makan saya menghilang sama sekali, saya bahkan tidak merasa lapar. Saya hanya makan bila ada teman yang mendatangi kamar saya dan mengajak makan. Lalu pada suatu hari, saya hanya berbaring seharian di kasur saya. Saya hanya ingin tidur. Saya pikir masih wajar, saya butuh istirahat. Lalu sehari menjadi dua hari, menjadi seminggu, menjadi dua minggu. Saya hanya turun dari ranjang saya untuk buang air. Atau mengecek account facebook dari laptop di meja saya. Selama dua minggu itu saya bergulung di bawah selimut saya sepanjang hari, nyaris 24 jam sehari.

Setelah dua minggu, saya semakin desperate. Waktu yang seharusnya saya gunakan untuk mempersiapkan resit malah saya pakai untuk tidur. Damn. Something was wrong. Something was terribly wrong. Suatu hari, saat saya memeriksa facebook saya, saya memaksa diri untuk browsing semacam “sleeping for two weeks and don’t want to get up” dan saya menemukan diagnosa “depression”. Self-diagnosed depression.

GP di klinik kampus saya mengonfirmasi self-diagnose tadi. Saya ingat dia bilang, dia tidak prefer memberikan obat dan lebih menyarankan saya segera membuat janji dengan counseling service di kampus. Tapi, karena saya harus segera ikut resit dan saya perlu kemampuan untuk bangkit dari tempat tidur dan berkonsentrasi dalam belajar, GP tadi meresepkan obat anti depresi untuk sebulan. Itulah perkenalan pertama saya dengan obat-obatan psikotropika. Saya tidak ingat namanya, sungguh. Mungkin Prozac. Mungkin Zoloft. Entahlah.

Bersama therapist di counseling centre kampus, saya menjalani Cognitive Behavioural Therapy (CBT). Itulah talk theraphy pertama saya.  Saya masih ingat nama theraphist saya: Sharon. Seorang Sharon yang mengajari saya mempertanyakan faedah dari cara berpikir saya yang cenderung menyalahkan diri sendiri. Seorang Sharon itulah yang membuka pikiran saya untuk selalu bertanya: kalau pun kekhawatiran saya terjadi, so what? What will happen? What will I feel? How will that affect my life?

Itulah permulaan perjalanan panjang saya bersama mental illness bernama depresi. Hampir Sembilan tahun sudah. Sekembalinya ke tanah air, saya bertemu dengan banyak psikiater, psikolog, talk therapist. Saya membaca buku-buku, browsing, bergabung dengan support group. Saya maju selangkah untuk lalu mundur tiga langkah. Saya bergelut dengan karir yang berantakan, hubungan pribadi yang ruwet, cita-cita yang terjun ke jurang. Saya berjuang untuk bertahan hidup, saya belajar untuk menghargai setiap langkah kecil kebangkitan saya dalam setiap kali relaps depresi, I relearn happiness.

Depresi merenggut begitu banyak kesempatan dari hidup saya, menjatuhkan saya ke titik terendah dalam hidup saya. Depresi juga yang membuat saya belajar untuk berbahagia dalam ketidaksempurnaan saya, to stop me from judging myself too harshly, to appreciate the beauty in small things.

Suatu titik di udara, antara Jakarta dan Yogyakarta, medio 2019

You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *