Hello Blogggggg, long time no see (macam banyak aja ya yang visit blog curcol ngalor ngidul ini). Ke mana aja saya? Well, selesai ujian yang bikin tidur ngga teratur, di mana sempat kejadian saya bengong di tengah ujian, tiba-tiba merasa tidak punya energi dan motivasi untuk mengerjakan ujian yang sebenarnya bisa saya kerjakan, kami sekeluarga road trip. Yup. Road trip pada saat pandemi. Saya tidak konsisten dengan post saya sebelumnya? Tentu saja. Saya tidak pernah bilang saya mampu konsisten. Bapake stres berat karena semua tanggung jawab rumah dia yang handle sementara saya persiapan ujian. Mulai dari bersih-bersih rumah, memasak, menyuapi anak, memandikan anak, sampai belanja ke tukang sayur. Hobi bapake adalah nonton film dan jalan-jalan. Jadi saya subscribe-kan Netflix dan saya iyakan roadtrip keliling Jawa, dengan prokes ketat tanpa kompromi.
Selama perjalanan itu dan sampai sekarang, saya berpikir apa yang selama ini, lebih dari 10 tahun bersama depresi yang kadang relaps kadang terkontrol, saya masih (lumayan) bisa bertahan, membesarkan dua anak luar biasa yang (mudah-mudahan) tidak trauma dengan ibu yang bukan seperti ibu biasa. Ini pengalaman saya pribadi loh ya, dan sekali lagi disclaimer bahwa saya tidak punya background medis, jadi mungkin buat orang lain akan berbeda juga.
- Pengertian dan full support ketika bahkan tidak bisa mengerti, dari orang terdekat. Bapake sering tidak mengerti kenapa saya tiba-tiba tidak mau bangun, atau meledak karena hal sepele, atau hanya mau main solitaire sepanjang hari, atau tidak mau didekati anak-anak saya. Saya yakin dia sering tidak mengerti. Tapi, dia akan ambil alih semua dan biarkan saya sendiri. Dia akan ajak anak-anak keliling sekitar rumah supaya saya bisa sendiri, supaya saya bisa tidur. Dia akan “paksa” saya makan ketika saya tidak mau makan. Dia akan meyakinkan saya bahwa saya jauh lebih baik daripada penilaian saya terhadap diri saya sendiri. Bapake tidak sempurna, dia bukan tipe suami idaman saya. Tapi, ketika saya perlu a shoulder to lean on, he is there. He is always there. Hence I know I don’t need a perfect husband, I just need MY husband.
- Psikiater yang trustworthy dan dependable. Di sini perlu chemistry, professional chemistry menurut saya. Ketika saya percaya, sangat percaya, bahwa psikiater saya bisa membantu saya lebih daripada Mbah Google bisa membantu saya. Ini salah satu sebab saya kembali lagi ke psikiater yang bertahun-tahun lalu pernah men-treat saya, dr. Albert Maramis. He saw beyond my complaints, beyond my google search, which is already extremely extensive. He will even ask about my progress when I just keep quite about everything. Saya pernah bahas di posting saya sebelumnya kalau saya terakhir ke psikiater dekat rumah saya. Cuma ya, mungkin perlu waktu apa gimana saya ngga ngerti juga, I just need to go back to this old doctor. Bapake mendukung, bahkan setiap dua minggu mengantarkan saya dalam perjalanan 3 jam bolak balik, menunggui selama saya konsul dan mengantri obat.
- Hobi yang bisa distracting in a positive way. Bapake sering bilang saya perlu punya hobi. Hobi saya sebelum negara api menyerang adalah membaca. Sekarang, itu nyaris mustahil dilakukan karena span konsentrasi saya sangat pendek. And I simply stop enjoying reading. Selama pandemi orang-orang hobi lari, sepedaan, piara tanaman. Semuanya just not my things. Sampai akhirnya sekarang saya coba baking. Ini positif dalam banyak hal. Pertama, saya yang agak perfeksionis akan terdistract dari pikiran ruwet saya dengan menimbang bahan-bahan, membaca resep, dan menyiapkan alat-alat sesuai petunjuk. Kedua, saya bisa berinteraksi dengan Kakak dan Adek dengan aktivitas yang kami sama-sama suka. Kakak dan Adek suka ngaduk-ngaduk tepung dan adonan, kami bisa bercerita tentang nama-nama bahan kue, dan saya tidak keberatan dengan absolute mess yang mereka ciptakan. Ketiga, hasil baking itu adalah jajanan sehat untuk Kakak, Adek, dan saya (tidak cukup sehat untuk Bapake yang harus mengurangi sugar intake).
- Talk therapy dengan orang-orang seperjuangan. Bukan terapi dalam arti sesungguhnya, tapi membahas masalah dengan orang yang mengerti masalahnya buat saya cukup membantu untuk merumuskan keruwetan di kepala saya. Like, what is really my problem? Benang kusutnya perlu diurai. Membicarakan dengan orang yang paham detailnya sangat membantu saya mengurai benang kusut itu yang kadang-kadang sebenarnya tidak kusut, hanya saya yang belum punya helicopter view untuk melihat ketidakkusutan itu.
- Practice gratefullness. Bukan yang ribet dan panjang lebar macam kalo lagi doa di gereja gitu. No. Ini simple prayer yang saya dan Bapake dan Kakak dan Adek mulai biasakan beberapa bulan terakhir. Adek akan berterima kasih atas monster truck dan mobil balap dan ambulans dan fire truck-nya. Kakak akan berterima kasih atas rumah-rumahan sylvanian yang didapatnya ketika Natal, atas menginap di hotel yang berbulan-bulan dimintanya, atas lemarinya yang kami cat pink. Bapake akan berterima kasih atas anak-anak yang sehat dan bandel dan bawel dan istri yang galak tapi sayang padanya. Saya akan berterima kasih atas satu kuliah yang saya lewati dengan berhasil menyimak lebih dari 15 menit.
- Saying “I love me”. Ini wisdom yang saya pelajari dari Adek, bocah 2 tahun yang belakangan suka bilang begini: Adek sayang Mama, Adek sayang Bapak, Adek sayang Kakak, dan Adek sayang Adek. I was like, huh? Iya juga ya, lebih dari apapun, yang pertama harus saya lakukan adalah menyayangi diri saya. I love me with all my flaws, all my failures, all of me.
Segitu aja dulu. Banyak sih yang share tips-tips keren seperti di sini. Cuma ya buat sekarang baca segambreng begitu cukup overwhelming buat saya.